KHIYAR
DAN JUAL BELI IJON
Disusun
Oleh:
Heri
Iswanto (10 16 07 06)
Dosen
Pengampuh:
Drs. H.
Shofyan Hasan
FAKULTAS
SYARIAH
JURUSAN
JINAYAH SIYASAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI RADEN FATAH
PALEMBANG
2011
DAFTAR
ISI
A). I.
Hadits Tentang Khiyar dalam Jual Beli........................................ 1
II. Makna Kata (Mufrodat)............................................................... 1
III. Maksud Hadits Tentang Khiyar dalam
Jual Beli.......................... 1
IV. Pembahasan................................................................................. 2
•
Macam-macam Khiyar................................................................. 2
•
Khiyar Majlis.......................................................................... 2
•
Khiyar Syarat.......................................................................... 3
•
Khiyar ‘Aibi............................................................................ 3
•
Kesimpulan Hadits Tentang Khiyar............................................. 5
B). I.
Hadits Tentang Jual Beli Ijon........................................................ 6
II. Makna Kata (Mufradat)............................................................... 6
III. Maksud (Inti) Hadits Tentang Jual Beli
Ijon................................ 6
IV. Pembahasan................................................................................. 6
•
Pendapat Para Fuqaha................................................................. 7
•
Hikmah Larangan Menjual Buah yang Masih Hijau.................... 9
•
Kesimpulan.................................................................................. 10
V. Daftar Pustaka................................................................................. 11
A). I.
Hadits Tentang Khiyar dalam Jual Beli (LM 978 & 979)
حَدِ يْث عَبْدِ ا للهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م ، قَا لَ : اَلْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا بِاْلخِيَارِعَلَى صَا حِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلَّا يَبْعَ
الْخِيَارِ.
حَدِ يْث
ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م ، أَنَّهُ قَالَ :
إِذَاتَبَايَعَ اَلرُّجُلَانِ فًكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِاْلخِيَارِمَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا، وَكَانَا جَمِيْعًا، أَوْيُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا
اْلآخَرَفَتَبَايَعَاعَلَى ذَالِكَ فَقَدْ وَجَبَ اْلبَيْعُ، وَإِنْ
تَفَرَّقَابَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَاوَلَمْ يَتْرُكَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اْلبَيْعَ
وَجَبَ الَبóJR9O.
II. Makna
Kata (Mufradat)
•
(اَلْمُتَبَايِعَانِ) :
Penjual dan pembeli (البائعين والمشترين)
•
(يَتَفَرَّقَا) : Berpisah (اِنْفَصَل)
•
(اتَبَايَع) : Jual beli (بيع وشراء)
•
(اَلرُّجُلَانِ) :
Dua orang (شخصين)
•
(يَتْرُك) :
Melepaskan, berpisah (طليق)
III. Maksud dari Hadits Tentang
Khiyar dalam Jual Beli
Hadits
tentang khiyar diatas pada hadits yang
pertama menjelaskan bahwasanya antara penjual dan pembeli diberikan kebebasan
dalam menentukan jadi atau gagalnya suatu transaksi dalam jual beli selama
keduanya belum berpisah dari majlis, kecuali jika diberi hak untuk memutuskan
sesudah berpisah atau sesudah dipikir dirumah. Kemudian pada hadits yang kedua
menjelaskan bahwasanya jika terjadi jual beli antara dua orang, masing-masing
bebas memilih selama belum berpisah dan setuju, atau yang satu memberikan
kebebasan kepada yang lain, kemudian keduanya menetapkan sesuatu, maka telah
selesai jual beli menurut ketentuan itu, jika keduanya berpisah sesudah akad
jual beli dan masing-masing tidak membatalkan penjualan itu maka telah berlaku
jual beli. (Bukhari, Muslim).
IV. Pembahasan
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan
menyaring. Secara umum khiyar adalah
menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya. Diadakannya khiyar oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran mereka merasa tertipu.
Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya. Diadakannya khiyar oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran mereka merasa tertipu.
Adapun Macam-Macam Khiyar sebagai berikut:
•
Khiyar
Majlis
Yaitu penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan
jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis), khiyar majlis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah
Saw bersabda :
اَلبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا
Artinya:
"Dua orang yang berjual beli
boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak), selama keduanya
belum berpisah (dari tempat akad). (HR.Bukhori danMuslim)
Khiyar majelis juga ditetapkan dan berlaku
bagi sewa menyewa, tukar menukar, dan upah mengupah.
Boleh menggugurkan khiyar mejelis dengan
syarat keduabela pihak saling ridha karena hal
ini adalah hak mereka. Ulama sepakat bahwa tidak ada khiyar majelis pada
akad-akad yang harus yang tidak dimaksudkan dengannya tukar menukar, seperti
akad nikah, thalaq atau khulu.
Ulama sepakat bahwa tidak ada kiyar majelis dalam akad-akad yang memang tidak harus, misalnya akad mudharabah, penitipan, kongsi dagang, mewakilkan karena akad-akad ini sudah berdiri diatas khiyar majelis. Apabila penjual dan pembeli tidak mau berpisah dalam waktu yang panjang maka khiyar majelis tetap ada dan terus berlangsung selama belum berpisah.
Ulama sepakat bahwa tidak ada kiyar majelis dalam akad-akad yang memang tidak harus, misalnya akad mudharabah, penitipan, kongsi dagang, mewakilkan karena akad-akad ini sudah berdiri diatas khiyar majelis. Apabila penjual dan pembeli tidak mau berpisah dalam waktu yang panjang maka khiyar majelis tetap ada dan terus berlangsung selama belum berpisah.
•
Khiyar
Syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik
oleh penjual ataupun oleh pembeli. Diperbolehkan kepada Mutabaayi’aani atau
kepada salah seorang diantara mereka untuk memberikan syarat dalam khiyar
mengenai barang yang akan dijual jika pihak lainnya menyetujui, yaitu dengan
jangka waktu tiga hari dihitung dari akad. Apabila masa khiyar itu melebihi
tiga hari, atau ternyata barang dagangannya ada yang rusak selama masa yang
disyaratkan, maka akadnya menjadi batal. seperti seseorang berkata, “Saya jual rumah ini dengan harga 50 dinar
dengan syarat khiyar selama 3 hari”.
Sabda
Rasulullah SAW. :
أَنْتَ
بِالْخِيَارِ فِيْ كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا ثَلَاثَ لَيَالٍ
Artinya : "Engkau boleh khiyar pada segala macam barang
yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam" (HR.Baihaqi dan
Ibnu Majah).
•
Khiyar
‘Aibi
Menurut ulama fikih khiyar ‘Aib (cacat) adalah: Keadaan yang membolehkan salah seoarang yang
akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan
aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar – menukar yang tidak
diketahui pemiliknya waktu akad. seperti seseorang berkata, “Saya beli hp itu
seharga sekian, bila hp itu cacat akan saya kembalikan”. Cacat disini
maksudnya, cacat yang sudah ada pada barang yang dibawa, bukan karena tangan
pembeli, seperti dibawa kemudian ada halangan yang mengakibatkan cacat, tetapi
cacat yang sudah ada sejak dahulunya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa
seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya,
didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka
budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad & Abu Dawud).
Dalam
riwayat lain khiyar dijelaskan sebagai berikut :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ
أَقَالَ مُسْلِماً بَيْعَتَهُ, أَقَالَهُ اَللَّهُ عَثْرَتَهُ ) رَوَاهُ
أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Artinya : “Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan
kesalahannya.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih
menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Di
riwayat lain juga menjelaskan tentang khiyar di dalam jual beli sebagai
berikut:
وَعَنِ عَمِرو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ اَّلَّنبِيَّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
(البَائِعُ وَاْلمُبْتاَعُ باِلْخِيَارِ حَتَّى يَتضفَرَّقَا اِلَّا اَنْ تَكُوْنُ
صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُ اَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ اَنْ
يَسْتَقْبِلَهُ ) رواه الخمسة الا ابن ماجه
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual
(mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan
akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya
karena khawatir dibatalkan.”
Keterangan
- حتى يتفرقا Al-Murad bih; tafarruq bi al-abdan, seperti keterangan dalam penjelasan sebelumnya. Dalam riwayat lain disebutkan: “حتى يتفرقا بمكانها “ - الا ان تكون صفقة خيار
Maksudnya apabil ditetapkan dalam jual beli tersebut akad khiyar maka perpisahan badan tidak dipertimbangkan. - ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadis tersebut berkata bahwa yang dimaksud dengan lafazd pada “ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله “ adalah tidak halal bagi salah satu dari mereka meninggalkan rekannya setelah jual beli karena khawatir dibatalkan. Al-Murad biqoulih “ ان يستقبله “ adalah tuntutan untuk membatalkan bai’. Makna lain dari hadits diatas adalah tidak halal meninggalkan rekannya ketika melihat adanya kecondongan dari rekannya untuk mengembalikan barang. Walaupun pada dasarnya mufaraqah tetap diperbolehkan.
- حتى يتفرقا Al-Murad bih; tafarruq bi al-abdan, seperti keterangan dalam penjelasan sebelumnya. Dalam riwayat lain disebutkan: “حتى يتفرقا بمكانها “ - الا ان تكون صفقة خيار
Maksudnya apabil ditetapkan dalam jual beli tersebut akad khiyar maka perpisahan badan tidak dipertimbangkan. - ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadis tersebut berkata bahwa yang dimaksud dengan lafazd pada “ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله “ adalah tidak halal bagi salah satu dari mereka meninggalkan rekannya setelah jual beli karena khawatir dibatalkan. Al-Murad biqoulih “ ان يستقبله “ adalah tuntutan untuk membatalkan bai’. Makna lain dari hadits diatas adalah tidak halal meninggalkan rekannya ketika melihat adanya kecondongan dari rekannya untuk mengembalikan barang. Walaupun pada dasarnya mufaraqah tetap diperbolehkan.
Kesimpulan Hadits Tentang Khiyar
Khiyar yaitu kebebasan memilih antara penjual dan pembeli
untuk meneruskan akad jual beli atau
membatalkankan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Tujuan diadakan
khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat
memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan dikemudian hari karena merasa tertipu. Hikmah disyariatkannya hak
pilih adalah membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang
terikat dalam perjanjian. Juga untuk menghindari upaya penipuan salah satu
pihak baik penjual ataupun pembeli. Seperti yang telah diriwayatkan dalam
hadits Nabi:
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : ذَكَرَ رَجُل لِرَسُوْ لِ اللهِ صَلّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّم اَنَّهُ يُخْدَعُ فِى الْبُيُوْعِ فَقَالَ : اِذَا بَايَعْتَ فَقَلَ لَا خِلَابَةَ. مُتَفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
“Dan diriwayatkan dari Ibu Umar: Telah datang seorang kepada Rosulullah SAW
saya selalu ditipu dalam jual beli. Maka Nabi bersabda: Ketika jual beli
katakanlah Laa Khilabah (tidak ada tipuan) Oleh sebab itu, syariat hanya
menetapkan dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang
terlibat menegaskannya sebagai persyaratan.”
Hukum yang dapat diambil dari kedua
hadits diatas adalah bahwasanya dalam jual beli di berikan kebebasan antara
penjual dan pembeli untuk memilih, memutuskan jadi atau gagalnya transaksi jual
beli tersebut selama keduanya belum berpisah dari majlis, kecuali jika diberi
hak untuk memutuskan sesudah berpisah atau sesudah dipikir dirumah. jika
keduanya berpisah sesudah akad jual beli dan masing-masing tidak membatalkan
penjualan itu maka telah berlaku jual beli.
B). I.
Hadits Tentang Jual Beli Ijon (LM 982)
حَدِ يْثُ
عَبْدِ ا للهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُوَصَلَا حُهَا،
نَهَا الْبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاَعَ.
II. Makna Kata (Mufradat)
•
(نَهَى) :
Melarang (مَنَعَ)
•
(بَيْعِ) :
Menjual (باَعَ)
•
(الثِّمَارِ) :
Buah (فاكهة)
•
(الْبَا ئِعَ) : Penjual (بَيَّاعَ)
•
(اْلمُبْتَاَعَ) : Pembeli (مشتر)
III. Maksud (Inti) Hadits Tentang Jual Beli Ijon
Hadits
riwayat bukhari muslim diatas menjelaskan bahwasanya Rasulullah SAW. melarang
menjual buah yang masih dipohonnya hingga terlihat nyata baiknya, Rasulullah
saw. melarang baik yang menjual maupun yang membeli.
IV. Pembahasan
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlarah, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian
yang masih hijau. Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau
menjualnya ketika masih kecil.
Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara
menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud
baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan
kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Riwayat
lain menjelaskan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ
الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai
tampak kelayakannya”. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Yahya,
Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin, semuanya dari Ismail bin
Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman
an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya
(Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir
bin Abdullah.
Manthûq (makna
tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya jika
belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah
(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih
di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya. Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan
oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR
al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta
yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Pendapat Para Fuqaha
Sebelum madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan
atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat
dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk
diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas
ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ
وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
Artinya: “Rasulullah Saw melarang
muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR.
Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ
الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
Artinya: “Rasulullah Saw telah
melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”. (Muttafaq
alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas
pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan
bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad. Imam
Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum
sebagai berikut :
•
Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak
pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada
izin dari pihak penjual.
•
Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
•
Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik
(tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedangkan para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya
sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi
yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak
mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli
sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan
tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat,
jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera
dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan
keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti
ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas
(masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang
diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di
masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau
tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran
dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.
Hikmah Larangan Menjual Buah Yang
Masih Hijau
•
Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
•
Melindungi
pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan
yang rusak sebelum matang.
•
Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :
لَوْبِعْتَ
مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ
خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ (رواه مسلم)
Artinya:
“Jika
engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh engkau
ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil harta saudaramu
degan tidak benar”. (HR. Muslim)
•
Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika
ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan
besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.
Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku
untuk buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika
masih hijau seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag
masanya di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk
dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan dengan
jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar) tidak ada unsur penipuan yang
mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko,
sehingga tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama
dengan buah yang sudah nampak baiknya.
Imam Abu
Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai
berikut :
•
Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak
pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada
izin dari pihak penjual.
•
Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
•
Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik
(tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedangkan para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan
menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada
hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak
kebaikannya.Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada
kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama
malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat
tetap di pohon hingga bercahaya.
Kesimpulan Hadits Tentang Jual Beli
Ijon
Pada intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak
diperbolehkan, karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum
yang berupa hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon
sudah ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun
prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.
Perbedaan pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya
berpangkal pada prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan
segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda. Abu Hanifah atau
Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih hijau dengan syarat
dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di pohon dengan alasan karena
penjualan mengharuskan diserahkan. Sedang jumhur dan ulama membolehkan dengan
syarat dipetik dengan alasan menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya
serangan hama yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya.
Hukum yang dapat diambil dari hadits
diatas, bahwasanya Rasulullah saw.
melarang menjual buah yang masih dipohonnya hingga tampak hasil baiknya.
Rasulullah saw. melarang keduanya, baik yang menjual buah tersebut maupun orang
yang membelinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy,
Salim. 1979. Al-Lu’lu’al Wal Marjan. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Fu’ad, Muhammad Abdul Baqi. 1979. Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hajar, Ibnu al-Asqalani. 2007. Terjemahan Lengkap Bulughul Maram. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Qasim,
Muhammad al-Ghizzi. 1995. Fathul Qarib. Bandung:
Trigenda Karya.
Rifa’I,
Mohammad dkk. 1978. Kifayatul Akhyar. Semarang:
CV. Toha Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar